Mitos Seputar Puasa dan Metabolisme yang Perlu Diluruskan
inutrisi.com - Banyak anggapan keliru tentang dampak puasa terhadap metabolisme tubuh yang masih beredar luas. Meskipun tradisi puasa telah dijalankan selama ribuan tahun, mitos-mitos ini sering membuat orang ragu atau bahkan takut untuk berpuasa. Artikel ini akan mengulas beberapa mitos seputar puasa dan metabolisme yang sering disalahpahami, dilengkapi dengan penjelasan berbasis penelitian ilmiah dan pengalaman praktis.
1. Puasa Membuat Metabolisme Tubuh Melambat Drastis
Salah satu mitos terbesar adalah keyakinan bahwa puasa akan memperlambat
metabolisme secara drastis sehingga tubuh menjadi lemah dan berat badan sulit
turun. Faktanya, tubuh memiliki mekanisme adaptasi yang canggih. Dalam fase
awal puasa (hingga 48 jam), metabolisme justru mengalami sedikit peningkatan
karena lonjakan hormon norepinefrin yang merangsang pemecahan lemak untuk
energi.
Sebuah studi dari The American Journal of Clinical Nutrition (2000)
menunjukkan bahwa puasa jangka pendek (24-72 jam) tidak menurunkan laju
metabolisme basal secara signifikan. Justru, metabolisme baru akan melambat
jika tubuh mengalami defisit kalori ekstrem dan dalam jangka panjang (>5
hari).
Saya sendiri menerapkan pola puasa intermiten (16:8) selama tiga bulan
terakhir, sambil tetap berolahraga ringan. Hasilnya, tidak ada penurunan energi
yang signifikan, asalkan asupan nutrisi diatur dengan baik saat berbuka dan
sahur.
2. Puasa Membuat Massa Otot Cepat Hilang
Banyak yang khawatir bahwa selama puasa, tubuh akan memecah otot untuk
dijadikan sumber energi. Namun, ini hanya terjadi dalam kondisi ekstrem saat
cadangan glikogen dan lemak tubuh sudah sangat menipis.
Studi dari The Journal of Translational Medicine (2020) menyebutkan
bahwa individu yang menjalani puasa intermiten tidak mengalami penurunan massa
otot jika kebutuhan proteinnya tercukupi dan tetap melakukan aktivitas fisik.
Prioritas utama tubuh adalah menggunakan lemak sebagai bahan bakar, bukan otot.
Dalam pengalaman saya, menjaga asupan protein sebesar 1,2-1,6 gram per kg
berat badan selama puasa, serta latihan beban ringan 2-3 kali seminggu, cukup
efektif mempertahankan massa otot.
3. Agar Metabolisme Stabil, Harus Makan Setiap 3 Jam
Mitos ini muncul dari kepercayaan bahwa makan dalam frekuensi tinggi akan
menjaga metabolisme tetap “menyala”. Namun, penelitian terbaru membantah klaim
ini. Total asupan kalori harian lebih berpengaruh terhadap metabolisme
dibandingkan frekuensi makan.
British Journal of Nutrition (2014) merilis hasil meta-analisis
yang menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan dalam laju metabolisme antara
individu yang makan 3 kali sehari dengan mereka yang makan 6 kali sehari,
asalkan jumlah kalori harian tetap sama.
Jadi, tidak ada keharusan untuk terus makan setiap 3 jam demi menjaga
metabolisme. Puasa dengan jeda makan yang lebih panjang (time-restricted
feeding) justru dapat memberikan manfaat metabolik, seperti peningkatan
sensitivitas insulin dan efisiensi pembakaran lemak.
4. Puasa Menyebabkan Tubuh Kehilangan Energi Sepanjang Hari
Memang, beberapa orang mengalami rasa lemas saat awal menjalani puasa,
terutama karena adaptasi kadar gula darah. Namun, tubuh manusia secara alami
mampu beralih dari pembakaran glukosa ke lemak (fat-adaptation) sebagai sumber
energi utama.
Berdasarkan riset dari Cell Metabolism (2019), setelah 2-3 hari
adaptasi, tubuh menjadi lebih efisien dalam membakar lemak dan menghasilkan
keton yang menjadi bahan bakar alternatif otak dan otot. Itulah mengapa banyak
praktisi puasa intermiten justru melaporkan peningkatan energi dan fokus di
siang hari.
5. Puasa Bisa Merusak Sistem Pencernaan
Mitos ini sering didasarkan pada kekhawatiran bahwa lambung yang “kosong”
terlalu lama dapat memicu masalah seperti maag atau asam lambung berlebih.
Namun, justru dengan berpuasa, sistem pencernaan mendapat kesempatan untuk
beristirahat dan meregenerasi sel-sel mukosa lambung.
Tentunya, pola makan saat berbuka dan sahur menjadi faktor kunci. Hindari
konsumsi makanan tinggi lemak jenuh, pedas, atau gorengan berlebihan agar
sistem pencernaan tetap optimal. Saya pribadi mengalami perbaikan signifikan
pada keluhan asam lambung setelah menjalani puasa intermiten selama 1 bulan,
dengan menjaga kualitas makanan saat makan.
6. Metabolisme Hanya Ditentukan oleh Genetik, Puasa Tidak Akan Berpengaruh
Genetik memang berperan dalam menentukan laju metabolisme basal, namun gaya
hidup dan kebiasaan makan jauh lebih menentukan. Pola puasa dapat membantu
mengatur hormon metabolik seperti insulin, leptin, dan ghrelin, yang berperan
penting dalam pengaturan energi.
Studi dari Obesity Reviews (2016) menunjukkan bahwa intervensi gaya
hidup seperti pola makan time-restricted feeding dapat meningkatkan metabolisme
melalui peningkatan efisiensi mitokondria dan perbaikan sensitivitas insulin,
meskipun faktor genetik tetap ada.
7. Puasa Membuat Berat Badan Turun Karena Kehilangan Air Saja
Memang benar bahwa pada fase awal puasa, berat badan yang turun sebagian
besar berasal dari air akibat deplesi glikogen. Namun, seiring berjalannya
waktu, tubuh mulai memecah lemak sebagai sumber energi utama.
Sebuah meta-analisis di Annual Review of Nutrition (2020)
menyebutkan bahwa puasa intermiten yang dilakukan secara konsisten selama 8-12
minggu efektif menurunkan persentase lemak tubuh, bukan sekadar berat air.
Tentunya, hal ini didukung oleh pola makan sehat dan aktivitas fisik yang
teratur.
Fakta Ilmiah di Balik Mitos Seputar Puasa dan Metabolisme
Berbagai mitos seputar puasa dan metabolisme seringkali
muncul karena kurangnya edukasi berbasis bukti ilmiah. Untuk memahami bagaimana
puasa memengaruhi metabolisme tubuh, penting untuk melihat studi-studi terbaru
dan pengalaman nyata dari mereka yang menerapkannya.
Jika Anda ingin membaca lebih lanjut tentang topik ini, kunjungi artikel terkait di inutrisi.com yang membahas berbagai mitos seputar puasa dan metabolisme dengan sudut pandang ilmiah dan praktis.
Posting Komentar untuk "Mitos Seputar Puasa dan Metabolisme yang Perlu Diluruskan"